Dalam serangkaian perjalanan Tour de Java-Bali, aku memperoleh sebuah simpulan akan pengembaraan spiritualku selama ini. Bukan, simpulan bukanlah simpulan seorang ulama, kyai, pendeta maupun orang suci. Hanyalah sebuah simpulan serampangan seorang awam yang terkesima akan kebesaran Allah dalam menciptakan seluruh jagad semesta ini. Karena saking kecilnya, saya hanya memperoleh suatu snapshot akan lanskap kehidupan yang sedemikian luas dari suatu sudut pandang seorang manusia, yang tentunya tidak bisa berada dimana-mana, namun hanya berada disini maupun disana pada suatu ruang dalam interval waktu tertentu. Seorang manusia tidak bisa berada disana sekaligus disini, namun hanya di suatu posisi tertentu.
Seorang Muslim tentunya akan melihat kebenaran Illahiah dalam batasan-batasan yang membatasinya, yaitu batasan-batasan yang telah dibuat Sang Maha Pencipta dan Ia-pun tidak akan menuntut seorang manusia untuk melihat melampaui kapasitasnya sebagai seorang manusia. Apabila seorang anak Adam diberikan penglihatan dan pemahaman akan suatu kebenaran-pun, itu karena semata-mata atas ijin dari-Nya. Ampunillah Yaa Fattahul Yaa Aliim apabila muncul suatu kesombongan dari dalam diri hamba. Engkaulah al-Mutakkabiruun, yang menggenggam selendang kesombongan. Tidak layak hamba berjalan mendongakkan kepala di atas muka bumi ini dan merasa mengerti segala sesuatu, padahal pemahaman manusia akan kebenaran, sebatas apa yang Engkau berikan.
Di Bali, aku melihat situs-situs untuk menyembah Yang Maha Kuasa dengan berbagai nama, dengan berbagai cara. Aku melihat keindahan alam Bali yang dijaga menggunakan pranata-pranata yang dilandasi oleh suatu dharma. Dilandasi oleh suatu ajaran Hindu, dengan pemahaman akan alam yang sedemikian mendalam. Pemahaman akan harmoni antara alam yang terlihat dan tidak terlihat. Suatu kedamaian dari ajaran Budha untuk masuk ke dalam relung kesadaran manusia. Sungguh suatu tempat yang unik dan eksotis.
Islam dalam ajaran pokoknya mengajak manusia untuk beriman sesuai rukun iman dan ber-Islam sesuai rukun Islam. Syahadat sebagai rukun Islam pertama bermakna penyaksian tiada sesembahan selain Allah dan penyaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Penyaksian bahwa yang layak disembah adalah Allah, Sang Maha Pencipta, yang menciptakan segala sesuatu yang ada dalam jagad raya ini. Penyaksian bahwa Sang Prima Kausa adalah sesembahan yang layak disembah melampaui segala sesuatu yang ada dalam jagad raya ini. Apabila orang Hindu percaya adanya dewa-dewa sebagai manifestasi dari Yang Tunggal, maka dalam Islam tidak mengenal adanya dewa-dewa.
Letak kekagumanku bukan terletak pada sistem yang telah dibentuk di Bali maupun ritual-ritual dalam masyarakatnya, namun kekagumanku terletak pada Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan segala sesuatu di jagad raya ini, termasuk persepsi manusia dalam “mencerap” semesta raya ini beserta Sang Pencipta yang telah menciptakannya. Al-Awaalu atau Yang Maha Awal, telah menciptakan awal itu sendiri sebelum segala sesuatu itu ada dan Allah Al-Akhiruu akan mengakhir segala sesuatu yang ada di jagad raya ini. Saking terbatasnya persepsi manusia dalam melihat Tuhan Yang Maha Segalanya, orang Hindu menyebutnya menjadi dewa-dewa sebagai manifestasi akan Sang Maha. Saking terbatasnya manusia dalam melihat kebesaran Allah, maka manusia hanya bisa melihat kekuatan-kekuatan alam yang dahsyat diatur oleh para dewa. Dewa Indra, sebagai pimpinan delapan Wasu (dewa-dewa pengatur alam), sedangkan Dewa Bayu dianggap sebagai dewa angin serta berbagai dewa lain yang mengatur segala urusan. Hal ini mengingatkanku ketika jaman dahulu membaca mengenai mitologi Yunani, khususnya dewa-dewi Yunani yang menguasai segala urusan.
Pada akhir perjalananku di Bali, kesimpulanku adalah manusia pada fitrah-nya ingin kembali kepada-Nya. Manusia senantiasa mencari manifestasi Tuhan dalam kehidupan ini meski dibatasi oleh kelima indra dhohir maupun kelima indra bathin-nya. Dari pembelajaran Abrahamik, dapat dipetik hikmah bahwa pelampauan akan kelima indra dhohir dan bathin dari Nabi Ibrahim membawa pada knowledge akan ke-Tuhan-an atau Tauhid. Keyaqinan pada Allah, telah membawa Ibrahim kepada suatu ketinggian derajat dan menurunkan keturunan-keturunan yang menjadi pemimpin orang-orang yang beriman. Apabila masyarakat Bali melakukan segala sesuatu karena yakin pada “manifestasi kesekian dari Tuhan”, maka apabila melakukan segala sesuatu karena yakin pada Allah melalui tauhid tanpa mitos dan mitologi, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya amal sholeh (dharma). Melakukan amal sholeh untuk mendapatkan karma baik dan menjauhi amal maksiyat untuk menghindari karma buruk merupakan pembahasaan lain dari pahala dan dosa. Namun menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah karena keikhlasan kepada Allah melampaui pahala-dosa dan karma baik-buruk.
Kadang Allah memberikan suatu pemahaman, melalui cara yang terbalik. Dengan demikian, kita menjadi yaqin dengan keyaqinan kita dengan tetap menghormati keyakinan orang lain. Karena bagi mereka, kitapun (mungkin) juga nampak salah. Tat Twam Asi, kau adalah aku. Jika anda menyakiti orang lain bayangkanlah bagaimana jika orang itu menyakiti anda ? Jika anda membenci orang lain bayangkanlah bagaimana jika orang itu membenci anda ? Apapun yang anda lakukan pada orang lain bayangkanlah jika apa yang terjadi jika posisinya terbalik ?
No comments:
Post a Comment