Di dalam kehidupan ini, manusia menempuh perjalanan hidup. Sebagian menjalani kehidupan ini tanpa banyak pertanyaan mengenai hal-hal yang diluar obyek yang dapat diindera manusia, namun sebagian kecil lainnya dengan sebuah pertanyaan di luar itu. Berbagai pertanyaan semisal, “untuk apa manusia hidup ?”, “siapakah Tuhan ?”,”dimanakah Tuhan ?” sampai dengan “mengapakah orang itu sengsara ?” dilontarkan oleh orang-orang yang termasuk dalam kategori ini . Dalam perjalanan sejarah, dalam jatuh bangunnya peradaban, manusia-manusia yang bertanya mengenai hal-hal yang melampaui obyek inderawi ini sering mengalami alienasi dan bahkan dianggap gila. Sidharta Gautama, Ibrahim, Musa, Muhammad serta masih banyak lainnya yang bahkan tidak disebutkan dalam sejarah. Hanya orang-orang dalam kategori “sebagian kecil” yang memberikan dampak pada sebuah masyarakatlah yang kemudian dikenal. Apabila Sidharta Gautama bertanya, “mengapa orang mengalami penderitaan ?”, maka Ibrahim bertanya, “dimanakah Tuhan ?”. Apabila Siddharta Gautama keluar dari lingkaran kekuasaan, maka Ibrahim dimusuhi kaumnya karena mendakwahkan bahwa Tuhan itu tidak berada dalam arca-arca dan patung-patung yang waktu itu menjadi obyek sesembahan kaumnya.
Dalam sejarah peradaban dunia, kita menyaksikan berbagai terdapat dua alur perjalanan. Perjalanan dunia material dan perjalanan dunia spiritual. Dalam perjalanan dunia material, terjadi sebuah siklus perjalanan pasang surut. Perjalanan spiritual peradaban, mengalami sebuah proses evolusi dematerialisasi-penemuan konsepsi mengenai tauhid (ketuhanan)-proses rematerialisasi ke dalam ranah masyarakat. Pola demikian dapat kita lihat pada berbagai sistem keyakinan yang ada maupun yang pernah ada di muka bumi ini. Dikatakan dalam agama Islam bahwa manusia itu pada fitrahnya ingin kembali ke Tuhan, namun keterbatasan obyek inderawi yang dapat dilihat terbatas oleh kelima indra lahir. Pada kategori manusia yang terperangkap oleh indra dhahir, ia akan mencari obyek-obyek yang menurut mereka merupakan representasi dari kebesaran. Misalnya pangkat, jabatan serta berbagai hal yang berbau duniawi untuk memuaskan kecenderungan akan pencarian tuhan. Ia akan menambatkan pada obyek indrawi yang dapat difahami oleh indra dhahir. Pada kategori manusia yang melihat melampaui indra dhahir kemudian mencari kebesaran Tuhan pada hal-hal yang lebih tinggi lagi, yaitu kebesaran pada roh-roh leluhur/orang-orang telah meninggal yang senantiasa membimbing manusia dalam kehidupan ini. Hal ini nampak pada beberapa budaya dalam sejarah peradaban. Kategori manusia yang kedua (melihat di luar obyek inderawi) meski pada awalnya dimusuhi, karena “mempertanyakan dan memberontak” terhadap tatanan konseptualisasi, pada akhirnya, golongan kedua ini diikuti oleh golongan kedua. Fase melihat kebesaran pada ruh-ruh leluhur ini disebut sebagai animisme, sedangkat tahap lain disebut sebagai dinamisme. Fase dinamisme melihat kebesaran Tuhan dalam kebesaran kekuatan alam yang berada diluar jangkauan manusia yang kemudian terkristalisasi dalam wujud dewa dan dewi yang mengatur kehidupan ini. Maka, dalam perkembangannya, masing-masing masyarakat memiliki sekumpulan dewa-dewi yang mengatur segala urusan dan mengatur alam semesta ini. Pada tahapan selanjutnya, adalah proses terkristalisasinya pemahaman akan Tuhan dalam konsep Tauhid yang “ditemukan” oleh Ibrahim as. Dalam diri Ibrahim-lah terjadi suatu gerbang pemahaman antara kehendak Tuhan untuk dikenal dan kehendak manusia untuk mencari Tuhan. Secara menyeluruh, proses dua arah ini kemudian kita sebut sebagai takdir Tuhan yang memang pada ruang-waktu tersebut menghendaki Ibrahim “menemukan” Tuhan.
Dari prosesi Ibrahim as, kita bisa menarik banyak hal bahwa qodlo dan qodar Allah-pun melalui proses ikhtiari manusia. Apabila Ibrahim as berhenti dalam proses perjuangannya, barangkali Nuur itu tidak turun kepadanya namun kepada manusia lain. Dari proses Ibrahim-lah kita bisa menemukan kesimpulan bahwa konsepsi evolusi ke-Tuhan-an itu berhenti sampai tahap itu untuk kemudian sampai pada fase “penyampaian Risalah”. Fase penyampaian Risallah tauhid ini terjadi beratus-ratus tahun hingga Rasul terakhir Muhammad saw. Sebagai tanda dari berakhirnya fase penyampaian Risallah adalah ketika Tauhid ini sudah bisa terpapar dalam tingkatan suatu masyarakat atau suatu masyarakat sudah mengenal Tuhan dalam kehidupan sehari-hari sampai dengan terbentuknya sebuah masyarakat karena Allah.
Sampai tahap ini, kemudian evolusi mengalami keterpisahan lagi antara yang material dengan yang spiritual. Yang spiritual tetap terjaga dalam rantai tarekat sedangkan yang material kemudian mengikuti alur sunnatullah sebagaimana hukum yang berlaku pada kaum-kaum yang lain. Pemahaman dan laku yang terbentuk karena ke-Tauhid-an mencapai awalnya pada saat Rasulullah berdakwah di Mekah maupun Madinah, sedangkan sistem masyarakat tertata sedemikian rupa di jazirah Arab. Ketika Rasulullah wafat, terjadi perbedaan pendapat dalam hal siapa yang menjadi pemimpin ummat Islam. Terdapat dua “pedang” kala itu, yaitu pedang Tauhid dan pedang kemasyarakatan. Pedang tauhid ini kemudian turun melalui rantai wasilah tarekat-tarekat dimana sisi esoteris dilatih, sedangkan sisi lain adalah sisi eksoteris dalam artian berbangsa dan bernegara yang kemudian memunculkan berbagai mahdzab. Pada prakteknya, kedua sisi ini bertemu di dalam ke-tarekatan karena para mursyid biasanya menguasai juga ilmu fiqih. Tidak mengherankan apabila ulama-ulama menguasai fiqh sekaligus bertasawuf.
Dengan melihat sepintas sejarah ini barangkali kita dapat menyimpulkan bahwa benar adanya apabila Nabi Besar Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul terakhir, sedangkan para ulama adalah pewaris ilmu esoterik maupun eksoterik. Maka, apabila jaman sekarang muncul agama baru, sebenarnya tidaklah logis, karena evolusi ke-Tuhanan sudah sampai puncaknya, dan implementasinya dalam ranah yang luas sudah dilakukan kurang lebih 1400 tahun yang lalu. Barangkali dewasa ini adalah suatu titik temu antara sains-agama yang sejak dulu diletakkan dalam suatu posisi juxtapost atau malah menjadi saat dimana kiamat akan segera tiba ? ....Wallahua’lam bishowab.