Dulu aku selalui bertanya-tanya tentang integrasi antara sains dan agama. Karena sains sering dianggap sebagai penyebab ketidaktaatan seseorang pada agama, sedangkan agama sering dianggap sebagai penyebabkan kemunduran sains.
Aku selalu terhenyak tatkala agamawan melecehkan sains sebagai tipuan, sedangkan saintis melecehkan agama sebagai dogma dan khayalan.
Menembus Batas
Sunday, October 26, 2014
Friday, February 28, 2014
Kopi Nusantara
Sudah lama sekali aku ngga nulis di blog
ini. Terakhir menulis, tertanggal bulan Desember 2011. Kalo Desember
2013 dianggep dua tahun, maka saat ini sudah dua bulan lebih ngga nulis.
Mungkin karena ide buntu atau apa, tapi selama dua tahun dua bulan aku
lebih menyibukkan diriku mengerjakan banyak pekerjaan rumah.
Saat
ini aku mulai tertarik dunia lain. Ya dunia lain yang dahulu kala ngga
tertarik, ternyata sekarang menarik. Dunia lain itu adalah dunia
perkopian. Perkopian yang selama ini saya anggap ngga menarik ternyata
menarik. Mulai dari sisi kopinya, hingga pemrosesan , sampai dengan
seduhannya. Tidak kalah menariknya adalah jaringan yang bisa terbentuk
karenanya.
Dengan
kasih sayang, petani kopi menanam kopi dan memeliharanya, seperti
memelihara anak sendiri. Oh, ya, pasti diantara kalian ngga ngeh ya ama
jenis kopi. Pasti yang kalian anggap kopi yang sebenar-benar kopi
adalah kopi dalam kemasan yang bisa langsung diseduh, dikemas dalam
kemasan yang menarik dan dibawa kemana aja. Itu ngga salah, tapi pasti
kalian akan ditertawakan ketika mengunjungi rumah kopi yang menyajikan
kopi arabika Nusantara yang diseduh dengan perlakuan khusus.
Mandhailing,
Gayo, Toraja dan masih banyak lagi geographical indicated coffee atau
kopi berindikasi geografis. Kopi berindikasi geografis adalah kopi yang
memiliki label darimana kopi tersebut ditanam dan diolah. Kopi
Mandhailing misalnya, ditanam dan diolah di daerah Mandhailing serta
memiliki karakteristik kopi Mandhailing. So pasti, karakteristik kopi
Mandhailing berasal dari sifat tanah, iklim setempat serta agregasi dari
semua kondisi di wilayah Mandhailing.
Sunday, February 5, 2012
Mencari makna ?
Hidup bukanlah tanpa makna, ia penuh makna. Saking banyaknya makna yang kita ambil dalam perjalanan sehari-hari, kita sering lupa bahwa semua pemaknaan itu muncul dari perenungan-perenungan manusia. Dalam kitab suci sudah jelas bahwasanya hidup itu tidak untuk makna-makna itu, namun hidup adalah untuk menuju Allah dengan berada di jalan-Nya. Makna-makna itu ibarat hikmah yang kita peroleh dari perjalanan hidup kita. Tidak perlu pendalaman makna yang sedemikian kompleks, karena kompleksitas dari pemaknaan hanya akan menyebabkan lupa tujuan hidup. Sebagian manusia berkutat mencari makna seakan-akan makna itulah tujuan hidup, padahal makna hanyalah buah dari sebuah proses kehidupan. Para Nabi dan Rasul dalam Islam, tidak berkutat dalam pencarian makna. Mereka mencari sumber dari segala sumber kehidupan, bukan makna hidup. Pencarian makna hidup berada pada level adamiyah insani.
Apabila memang kita ingin mencari makna, maka perlu dinetralkan semua indra lahir maupun indra bathiniyah. Tanpa penetralan semua indra bathin dan lahir, maka yang muncul adalah berbagai ilusi-ilusi, memori-memori dan lain sebagainya yang menggeser kita dari tujuan semula mencari makna. Apabila dilakukan dengan metode yang benar serta taat asas, maka proses pencarian makna akan sampai pada tiadanya makna atau nol. Dalam nol tersebut, muncullah suatu ketetapan hati akan Sang Pencipta yang tanpa bayangan. Terbukanya mata bathin, tanpa fokus pada tujuan hanya akan mengganggu kehidupan. Pada prakteknya, seorang insaan tidak bisa berada di banyak tempat dan harus fokus pada tujuan.
Saturday, February 4, 2012
Sepintas Perenungan mengenai ke-Tuhan-an
Di dalam kehidupan ini, manusia menempuh perjalanan hidup. Sebagian menjalani kehidupan ini tanpa banyak pertanyaan mengenai hal-hal yang diluar obyek yang dapat diindera manusia, namun sebagian kecil lainnya dengan sebuah pertanyaan di luar itu. Berbagai pertanyaan semisal, “untuk apa manusia hidup ?”, “siapakah Tuhan ?”,”dimanakah Tuhan ?” sampai dengan “mengapakah orang itu sengsara ?” dilontarkan oleh orang-orang yang termasuk dalam kategori ini . Dalam perjalanan sejarah, dalam jatuh bangunnya peradaban, manusia-manusia yang bertanya mengenai hal-hal yang melampaui obyek inderawi ini sering mengalami alienasi dan bahkan dianggap gila. Sidharta Gautama, Ibrahim, Musa, Muhammad serta masih banyak lainnya yang bahkan tidak disebutkan dalam sejarah. Hanya orang-orang dalam kategori “sebagian kecil” yang memberikan dampak pada sebuah masyarakatlah yang kemudian dikenal. Apabila Sidharta Gautama bertanya, “mengapa orang mengalami penderitaan ?”, maka Ibrahim bertanya, “dimanakah Tuhan ?”. Apabila Siddharta Gautama keluar dari lingkaran kekuasaan, maka Ibrahim dimusuhi kaumnya karena mendakwahkan bahwa Tuhan itu tidak berada dalam arca-arca dan patung-patung yang waktu itu menjadi obyek sesembahan kaumnya.
Dalam sejarah peradaban dunia, kita menyaksikan berbagai terdapat dua alur perjalanan. Perjalanan dunia material dan perjalanan dunia spiritual. Dalam perjalanan dunia material, terjadi sebuah siklus perjalanan pasang surut. Perjalanan spiritual peradaban, mengalami sebuah proses evolusi dematerialisasi-penemuan konsepsi mengenai tauhid (ketuhanan)-proses rematerialisasi ke dalam ranah masyarakat. Pola demikian dapat kita lihat pada berbagai sistem keyakinan yang ada maupun yang pernah ada di muka bumi ini. Dikatakan dalam agama Islam bahwa manusia itu pada fitrahnya ingin kembali ke Tuhan, namun keterbatasan obyek inderawi yang dapat dilihat terbatas oleh kelima indra lahir. Pada kategori manusia yang terperangkap oleh indra dhahir, ia akan mencari obyek-obyek yang menurut mereka merupakan representasi dari kebesaran. Misalnya pangkat, jabatan serta berbagai hal yang berbau duniawi untuk memuaskan kecenderungan akan pencarian tuhan. Ia akan menambatkan pada obyek indrawi yang dapat difahami oleh indra dhahir. Pada kategori manusia yang melihat melampaui indra dhahir kemudian mencari kebesaran Tuhan pada hal-hal yang lebih tinggi lagi, yaitu kebesaran pada roh-roh leluhur/orang-orang telah meninggal yang senantiasa membimbing manusia dalam kehidupan ini. Hal ini nampak pada beberapa budaya dalam sejarah peradaban. Kategori manusia yang kedua (melihat di luar obyek inderawi) meski pada awalnya dimusuhi, karena “mempertanyakan dan memberontak” terhadap tatanan konseptualisasi, pada akhirnya, golongan kedua ini diikuti oleh golongan kedua. Fase melihat kebesaran pada ruh-ruh leluhur ini disebut sebagai animisme, sedangkat tahap lain disebut sebagai dinamisme. Fase dinamisme melihat kebesaran Tuhan dalam kebesaran kekuatan alam yang berada diluar jangkauan manusia yang kemudian terkristalisasi dalam wujud dewa dan dewi yang mengatur kehidupan ini. Maka, dalam perkembangannya, masing-masing masyarakat memiliki sekumpulan dewa-dewi yang mengatur segala urusan dan mengatur alam semesta ini. Pada tahapan selanjutnya, adalah proses terkristalisasinya pemahaman akan Tuhan dalam konsep Tauhid yang “ditemukan” oleh Ibrahim as. Dalam diri Ibrahim-lah terjadi suatu gerbang pemahaman antara kehendak Tuhan untuk dikenal dan kehendak manusia untuk mencari Tuhan. Secara menyeluruh, proses dua arah ini kemudian kita sebut sebagai takdir Tuhan yang memang pada ruang-waktu tersebut menghendaki Ibrahim “menemukan” Tuhan.
Dari prosesi Ibrahim as, kita bisa menarik banyak hal bahwa qodlo dan qodar Allah-pun melalui proses ikhtiari manusia. Apabila Ibrahim as berhenti dalam proses perjuangannya, barangkali Nuur itu tidak turun kepadanya namun kepada manusia lain. Dari proses Ibrahim-lah kita bisa menemukan kesimpulan bahwa konsepsi evolusi ke-Tuhan-an itu berhenti sampai tahap itu untuk kemudian sampai pada fase “penyampaian Risalah”. Fase penyampaian Risallah tauhid ini terjadi beratus-ratus tahun hingga Rasul terakhir Muhammad saw. Sebagai tanda dari berakhirnya fase penyampaian Risallah adalah ketika Tauhid ini sudah bisa terpapar dalam tingkatan suatu masyarakat atau suatu masyarakat sudah mengenal Tuhan dalam kehidupan sehari-hari sampai dengan terbentuknya sebuah masyarakat karena Allah.
Sampai tahap ini, kemudian evolusi mengalami keterpisahan lagi antara yang material dengan yang spiritual. Yang spiritual tetap terjaga dalam rantai tarekat sedangkan yang material kemudian mengikuti alur sunnatullah sebagaimana hukum yang berlaku pada kaum-kaum yang lain. Pemahaman dan laku yang terbentuk karena ke-Tauhid-an mencapai awalnya pada saat Rasulullah berdakwah di Mekah maupun Madinah, sedangkan sistem masyarakat tertata sedemikian rupa di jazirah Arab. Ketika Rasulullah wafat, terjadi perbedaan pendapat dalam hal siapa yang menjadi pemimpin ummat Islam. Terdapat dua “pedang” kala itu, yaitu pedang Tauhid dan pedang kemasyarakatan. Pedang tauhid ini kemudian turun melalui rantai wasilah tarekat-tarekat dimana sisi esoteris dilatih, sedangkan sisi lain adalah sisi eksoteris dalam artian berbangsa dan bernegara yang kemudian memunculkan berbagai mahdzab. Pada prakteknya, kedua sisi ini bertemu di dalam ke-tarekatan karena para mursyid biasanya menguasai juga ilmu fiqih. Tidak mengherankan apabila ulama-ulama menguasai fiqh sekaligus bertasawuf.
Dengan melihat sepintas sejarah ini barangkali kita dapat menyimpulkan bahwa benar adanya apabila Nabi Besar Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul terakhir, sedangkan para ulama adalah pewaris ilmu esoterik maupun eksoterik. Maka, apabila jaman sekarang muncul agama baru, sebenarnya tidaklah logis, karena evolusi ke-Tuhanan sudah sampai puncaknya, dan implementasinya dalam ranah yang luas sudah dilakukan kurang lebih 1400 tahun yang lalu. Barangkali dewasa ini adalah suatu titik temu antara sains-agama yang sejak dulu diletakkan dalam suatu posisi juxtapost atau malah menjadi saat dimana kiamat akan segera tiba ? ....Wallahua’lam bishowab.
Saturday, January 28, 2012
Oleh-Oleh Tauhid dari Bali
Dalam serangkaian perjalanan Tour de Java-Bali, aku memperoleh sebuah simpulan akan pengembaraan spiritualku selama ini. Bukan, simpulan bukanlah simpulan seorang ulama, kyai, pendeta maupun orang suci. Hanyalah sebuah simpulan serampangan seorang awam yang terkesima akan kebesaran Allah dalam menciptakan seluruh jagad semesta ini. Karena saking kecilnya, saya hanya memperoleh suatu snapshot akan lanskap kehidupan yang sedemikian luas dari suatu sudut pandang seorang manusia, yang tentunya tidak bisa berada dimana-mana, namun hanya berada disini maupun disana pada suatu ruang dalam interval waktu tertentu. Seorang manusia tidak bisa berada disana sekaligus disini, namun hanya di suatu posisi tertentu.
Seorang Muslim tentunya akan melihat kebenaran Illahiah dalam batasan-batasan yang membatasinya, yaitu batasan-batasan yang telah dibuat Sang Maha Pencipta dan Ia-pun tidak akan menuntut seorang manusia untuk melihat melampaui kapasitasnya sebagai seorang manusia. Apabila seorang anak Adam diberikan penglihatan dan pemahaman akan suatu kebenaran-pun, itu karena semata-mata atas ijin dari-Nya. Ampunillah Yaa Fattahul Yaa Aliim apabila muncul suatu kesombongan dari dalam diri hamba. Engkaulah al-Mutakkabiruun, yang menggenggam selendang kesombongan. Tidak layak hamba berjalan mendongakkan kepala di atas muka bumi ini dan merasa mengerti segala sesuatu, padahal pemahaman manusia akan kebenaran, sebatas apa yang Engkau berikan.
Di Bali, aku melihat situs-situs untuk menyembah Yang Maha Kuasa dengan berbagai nama, dengan berbagai cara. Aku melihat keindahan alam Bali yang dijaga menggunakan pranata-pranata yang dilandasi oleh suatu dharma. Dilandasi oleh suatu ajaran Hindu, dengan pemahaman akan alam yang sedemikian mendalam. Pemahaman akan harmoni antara alam yang terlihat dan tidak terlihat. Suatu kedamaian dari ajaran Budha untuk masuk ke dalam relung kesadaran manusia. Sungguh suatu tempat yang unik dan eksotis.
Islam dalam ajaran pokoknya mengajak manusia untuk beriman sesuai rukun iman dan ber-Islam sesuai rukun Islam. Syahadat sebagai rukun Islam pertama bermakna penyaksian tiada sesembahan selain Allah dan penyaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Penyaksian bahwa yang layak disembah adalah Allah, Sang Maha Pencipta, yang menciptakan segala sesuatu yang ada dalam jagad raya ini. Penyaksian bahwa Sang Prima Kausa adalah sesembahan yang layak disembah melampaui segala sesuatu yang ada dalam jagad raya ini. Apabila orang Hindu percaya adanya dewa-dewa sebagai manifestasi dari Yang Tunggal, maka dalam Islam tidak mengenal adanya dewa-dewa.
Letak kekagumanku bukan terletak pada sistem yang telah dibentuk di Bali maupun ritual-ritual dalam masyarakatnya, namun kekagumanku terletak pada Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan segala sesuatu di jagad raya ini, termasuk persepsi manusia dalam “mencerap” semesta raya ini beserta Sang Pencipta yang telah menciptakannya. Al-Awaalu atau Yang Maha Awal, telah menciptakan awal itu sendiri sebelum segala sesuatu itu ada dan Allah Al-Akhiruu akan mengakhir segala sesuatu yang ada di jagad raya ini. Saking terbatasnya persepsi manusia dalam melihat Tuhan Yang Maha Segalanya, orang Hindu menyebutnya menjadi dewa-dewa sebagai manifestasi akan Sang Maha. Saking terbatasnya manusia dalam melihat kebesaran Allah, maka manusia hanya bisa melihat kekuatan-kekuatan alam yang dahsyat diatur oleh para dewa. Dewa Indra, sebagai pimpinan delapan Wasu (dewa-dewa pengatur alam), sedangkan Dewa Bayu dianggap sebagai dewa angin serta berbagai dewa lain yang mengatur segala urusan. Hal ini mengingatkanku ketika jaman dahulu membaca mengenai mitologi Yunani, khususnya dewa-dewi Yunani yang menguasai segala urusan.
Pada akhir perjalananku di Bali, kesimpulanku adalah manusia pada fitrah-nya ingin kembali kepada-Nya. Manusia senantiasa mencari manifestasi Tuhan dalam kehidupan ini meski dibatasi oleh kelima indra dhohir maupun kelima indra bathin-nya. Dari pembelajaran Abrahamik, dapat dipetik hikmah bahwa pelampauan akan kelima indra dhohir dan bathin dari Nabi Ibrahim membawa pada knowledge akan ke-Tuhan-an atau Tauhid. Keyaqinan pada Allah, telah membawa Ibrahim kepada suatu ketinggian derajat dan menurunkan keturunan-keturunan yang menjadi pemimpin orang-orang yang beriman. Apabila masyarakat Bali melakukan segala sesuatu karena yakin pada “manifestasi kesekian dari Tuhan”, maka apabila melakukan segala sesuatu karena yakin pada Allah melalui tauhid tanpa mitos dan mitologi, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya amal sholeh (dharma). Melakukan amal sholeh untuk mendapatkan karma baik dan menjauhi amal maksiyat untuk menghindari karma buruk merupakan pembahasaan lain dari pahala dan dosa. Namun menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah karena keikhlasan kepada Allah melampaui pahala-dosa dan karma baik-buruk.
Kadang Allah memberikan suatu pemahaman, melalui cara yang terbalik. Dengan demikian, kita menjadi yaqin dengan keyaqinan kita dengan tetap menghormati keyakinan orang lain. Karena bagi mereka, kitapun (mungkin) juga nampak salah. Tat Twam Asi, kau adalah aku. Jika anda menyakiti orang lain bayangkanlah bagaimana jika orang itu menyakiti anda ? Jika anda membenci orang lain bayangkanlah bagaimana jika orang itu membenci anda ? Apapun yang anda lakukan pada orang lain bayangkanlah jika apa yang terjadi jika posisinya terbalik ?
Location:
South East Asia
Subscribe to:
Posts (Atom)